Gaya Sambalado Regulator untuk Netflix di Indonesia

Gaya Sambalado Regulator untuk Netflix di Indonesia

JakartaCNN Indonesia -- Sambala sambala bala sambalado
terasa pedas, terasa panas
sambala sambala bala sambalado
mulut bergetar, lidah bergoyang

cintamu seperti sambalado ah ah
rasanya cuma di mulut saja ah ah
janjimu seperti sambalado ah ah
enaknya cuma di lidah saja hoo ooo

colak colek sambalado alamak oee
dicolek sedikit cuma sedikit, tetapi menggigit
ujung-ujungnya bikin sakit hati
ujung-ujungnya sakit hati

Lirik lagu dangdut milik Ayu Ting Ting itu rasanya tepat sekali mewakili kegelisahan saya usai membaca sejumlah berita terkait kehadiran Netflix di Indonesia yang disajikan CNN Indonesia belakangan ini. Portal ini menyajikan berita kehadiran resmi Netflix yang dikenal dengan layanan streaming konten di Indonesia pada 7 Januari 2016 lalu.

Setelah itu, portal ini mengulas habis cara mengakses layanan Netflix, hingga kebutuhan bandwidth yang diperlukan untuk mengakses konten tersebut.

Namun, hati mulai gundah kala judul berita "Menkominfo Sambut dan Tak Buru-buru Atur Netflix" dikeluarkan portal ini pada 8 Januari 2015.

Dalam berita itu, Menkominfo Rudiantara menyambut gembira kehadiran Netflix selama menguntungkan bagi masyarakat serta industri. "Kita masih lihat nanti soal ini, karena pemangku kepentingannya banyak. Kita lihat nanti aspek ekonomi, sosial, kemaslahatannya," kata Rudiantara di berita itu.

Dalam kacamata Pria yang akrab disapa RA itu, dari sisi konten film yang ada di Netflix,  yang patut mengaturnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara jika melihat Netflix sebagai penyiaran, maka yang patut mengatur adalah Komisi Penyiaran Indonesia.

RA pun menambahkan Netflix memberi efek positif menekan angka pembajakan konten video, karena ia menawarkan tarif langganan yang terjangkau dan bisa menguntungkan perusahaan telekomunikasi karena akses data terpakai.

Namun, beberapa hari kemudian, tepatnya  14 Januari 2016, RA seperti mengubah pemikiran tentang Netflix. RA mengaku sudah menyiapkan aturan untuk Netflix, tetapi layanan ini kadung sudah komersial di Indonesia.

Diungkapkan RA, dalam regulasi yang tengah digodoknya,  akan mengatur layanan semacam Netflix harus berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dan menggunakan rupiah sebagai alat transaksi.

Ilustrasi pengguna layanan streaming film Netflix (dok.Netflix)

Kedua, untuk sensor konten akan dibuat mekanisme sendiri. Ketiga, Netflix dan layanan sejenismya tidak bisa diatur oleh satu UU lembaga terkait saja. Ada tiga UU yang bisa masuk yakni UU Telekomukasi, Informasi Transaksi Eletronik (ITE) dan UU Penyiaran.

Dus! Kalau begini sebenarnya bagaimana posisi regulator terhadap Netflix dan kawan-kawannya?

Layanan OTT

Jika dilihat, Netflix adalah jenis layanan Over The Top (OTT) yang memang cenderung melakukan disruptive dengan teknologi yang digunakan.

Di Indonesia, layanan semacam Netflix ini ada juga dijalankan pemain lokal. Misal, Genflix, FirstMedia Go, dan lainnya. Bedanya, Netflix ini adalah pemain asing dan transaksi dilakukan dengan kartu kredit. Bisa dipastikan negara tak menikmati keuntungan dari kehadiran Netflix karena tak berbadan hukum Indonesia dimana minimal tak dapat dipungut Pajak penghasilan.

Pajak transaksi konten pun diperkirakan lari keluar negeri, persis sama jika bertransaksi dengan Ad sense milik pemain asing lainnya di Indonesia.

Lantas, tak bisakah Netflix dijerat dengan regulasi yang ada? Benarkah ada kevakuman regulasi untuk layanan semacam ini sehingga terkesan sekelas Menkominfo mengeluarkan jurus 'Sambalado' seperti dendangan Ayu Ting Ting?

Tidak! Ada sejumlah regulasi yang bisa menjerat Netflix sembari disiapkan aturan khusus yang mengatur layanan semacam ini.

Pertama, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) secara jelas menyebutkan penempatan data center di Indonesia untuk layanan publik.

Sayangnya, sejak PP PSTE hadir, regulator dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terkesan tak percaya diri menegakkan aturan ini dan lebih  seperti macan ompong, terutama bagi pemain asing.

Kantor Netflix di Amerika Serikat

Kedua, Netflix bisa dikenakan ketentuan yang sama dengan para penyelenggara jasa perfilman dan Operator TV berbayar lainnya atau para pelaku transaksi perdagangan yang menerima pembayaran dari pelanggan, dan para pelaku kegiatan penyiaran yang jenis usahanya juga mengikuti ketentuan Perpres No. 39 tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI).

Berbicara dalam pasal 25 ayat (1) & (2) UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran, disebutkan “lembaga penyiaran berlangganan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan”.

Selanjutnya dalam ayat kedua pasal yang sama, kembali dipertegas dengan “lembaga penyiaran berlangganan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi multimedia, atau media informasi lainnya.

Berikutnya, pada pasal 29 dan 30 UU 33 tahun 2009 diatur bahwa pelaku usaha kegiatan pertunjukan film yang dilakukan melalui layar lebar, penyiaran televisi dan jaringan teknologi informatika harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Kemudian dalam pasal 41 di UU yang sama, kembali dipertegas kewajiban pemerintah untuk mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan.

Masih kurang? Ada Undang-Undang nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang menyatakan setiap film dan iklan film yang akan diedarkan atau dipertunjukan harus mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor yang diterbitkan oleh LSF yang sebelumnya sudah melalui prosedur penelitian dan penilaian. Bahkan, film yang sudah melewati sensor dari LSF untuk media tertentu dan digunakan ke media lainnya harus disensor ulang.

Lantas, kenapa Rudiantara terkesan ragu untuk memblokir sementara Netflix dan meminta OTT ini untuk memenuhi dulu aturan yang ada sebelum beroperasi?

Dalam catatan saya, tak hanya sekali jurus Samabalado dari Rudiantara ini membuat hati gundah.

Jelang tutup 2015 atau tepatnya pada Senin 28 Desember 2015, CNN Indonesia memberitakan kala bertemu dengan pendiri perusahaan raksasa teknologi Google, Sergey Brin,  RA memamerkan cetak biru pengembangan ekosistem seribu startup di Tanah Air, dan mengharapkan pemain startup di negeri ini dibantu melalui program Launchpad Google selaku akselerator startup.

Hal lain yang dibahas Chief RA dengan Brin adalah tentang kelanjutan dari Proyek penyediaan akses internet berbasis Balon atau dikenal dengan Project Loon. Selain itu  ada juga  tentang rencana mempelajari model bisnis Fixed Broadband dengan mengadopsi pola Google Fiber di Amerika Serikat.

Bagi saya,  langkah dari Rudiantara yang seperti memberikan "Karpet Merah" untuk Google guna memperkuat cengkramannya di bisnis digital Tanah Air, sama dengan aksi jurus Sambalado ke Netflix.

Dalam opini yang saya tulis sebelumnya, terungkap Indonesia ini adalah Raja Digital yang (Belum) berdaulat.


Tak hanya dari sisi infrastruktur, tetapi di peperangan masa depan yakni bisnis konten, pelaku usaha di negeri ini masih menjadi tamu di rumah sendiri.

Sekadar menyegarkan ingatan, dalam perkiraan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia menyumbang pendapatan bagi pemain konten dari luar negeri sekitar Rp 15 triliun per tahun dimana untuk Facebook sekitar US$ 500 juta, Twitter (US$ 120 juta), LinkedIn (US$ 90 juta), dan pemain asing lainnya seperti Google yang lumayan kuat di iklan digital.

Dari sisi konektivitas,  
Operator pun harus membeli bandwidth internasional seharga US$ 218 juta per tahun.Doni Ismanto Darwin
Bagaimana dengan negara? Ternyata dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun menurut The Center for Welfare Studies. Singkatnya, potensi devisa melayang ke luar negeri, karena Indonesia hanya menjadi pasar yang baik.

Hal yang menjadi pertanyaan saya, kenapa dalam menjalin kerjasama strategis dengan Google, Menkominfo tak mengedepankan diplomasi sebagai regulator, bukan sebagai pebisnis?

Sudah jelas, RA memiliki senjata yang kuat untuk membuat Google takluk yakni PP PSTE. Dalam  beleid ini jelas-jelas banyak bersinggungan dengan bisnis yang dikelola Google di Indonesia mulai dari soal data center, data pribadi, hingga hal lainnya berkaitan dengan transaksi elektronik.

Jika sebagai regulator, banyak berkompromi dalam menegakkan regulasi, tentu para pemain OTT asing tak akan tunduk dan justru melancarkan jurus negosiasi untuk berbisnis di negeri ini. Namun, hal yang paling berbahaya adalah jika regulator merasa regulasi yang ada tak perlu ditegakkan karena bukan bagian dari rezimnya.

Wah, kalau begini, perut saya benar-benar menjadi lapar dan saatnya makan rendang dengan sambalado sembari membaca dongeng tentang Nawacita dan Trisakti. (tyo)


Sumber = cnnindonesia

Comments